Perjuangan guru di pelosok Indonesia tidak pernah sederhana. Kisah itu nyata terlihat pada sosok Lenie, seorang pendidik penuh dedikasi yang telah lima tahun mengabdi sebagai guru honorer di SD Negeri 1 Harapan Jaya, Desa Harapan Jaya, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Setiap hari, ia menempuh perjalanan sejauh 11–12 kilometer dari rumahnya di Desa Manusup menuju sekolah tempatnya mengajar.
Namun, jalan yang harus ia lalui jauh dari kata mudah. Medannya berupa tanah berbatu dan berlumpur, dikelilingi perkebunan kelapa sawit. Banyak ruas jalan tidak ramah untuk kendaraan bermotor. Saat musim hujan, tantangan semakin besar: jalan menjadi licin, becek, bahkan banjir. “Jika hujan turun deras, saya harus ekstra hati-hati agar tidak terjatuh. Kalau sudah banjir sering kali membuat saya tidak bisa pulang ke rumah,” ujar Lenie, Kamis (25/9/2025).
Dalam kondisi seperti itu, ia kerap memilih tinggal di rumah dinas dekat sekolah. Baginya, tanggung jawab terhadap murid-murid lebih penting daripada rasa lelah. “Saya ingin memastikan tetap bisa hadir di kelas setiap hari dan tanpa membuat anak-anak kehilangan kesempatan belajar,” jelasnya.
Selama mengabdi, Lenie mengajar hampir semua mata pelajaran, kecuali PJOK dan agama. Ia juga dipercaya menjadi wali kelas. Dedikasinya yang tak kenal lelah mendapat pengakuan ketika pada tahun 2023 ia memperoleh Tunjangan Khusus Guru (TKG). Hal itu sesuai dengan penetapan wilayah Mantangai sebagai daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) berdasarkan Kepmendikbudristek No. 160/P/2021 dan Perpres No. 63/2020.
Kini, pengabdiannya memasuki babak baru. Lenie tengah menjalani Ujian Kinerja (UKIN) sebagai bagian dari Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Borneo Tarakan. Dalam UKIN, ia belajar menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau Alur Tujuan Pembelajaran (ATP), menyiapkan media pembelajaran, merancang asesmen, sekaligus praktik mengajar. Proses panjang itu akhirnya membuahkan hasil: Lenie dinyatakan lolos sebagai PPPK paruh waktu.
Keberhasilan ini menjadi hadiah berharga atas kerja kerasnya bertahun-tahun. Namun lebih dari itu, kisah Lenie menjadi cermin kegigihan guru-guru di pelosok negeri. Dengan keterbatasan sarana dan akses yang sulit, mereka tetap menyalakan api pendidikan bagi generasi penerus bangsa.
Bagi Lenie, setiap langkah di jalan berlumpur dan setiap menit di kelas memiliki makna besar. Ia percaya pendidikan bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan hati. Seperti yang diyakininya, “setiap menit di kelas adalah kesempatan untuk menyalakan cahaya ilmu bagi generasi penerus bangsa.”