Kepercayaan publik adalah fondasi utama dalam membangun hubungan sehat antara lembaga negara dan warga. Tanpa kepercayaan, otoritas menjadi mudah dipertanyakan, dan relasi sosial berubah menjadi penuh kecurigaan. Di tengah peran strategis yang dimiliki oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam sistem peradilan pidana, muncul pertanyaan besar yang terus bergaung dari waktu ke waktu. seberapa besar publik percaya kepada institusi ini?
Rilis hasil survei Civil Society for Police Watch (CSPW) yang diumumkan pada Minggu, 9 Februari 2025 memberikan gambaran yang cukup mengkhawatirkan. Tingkat kepercayaan publik terhadap Polri ternyata masih berada di bawah angka 50 persen. Hanya 3,1 persen responden menyatakan sangat percaya, 28,7 persen cukup percaya, dan 16,3 persen percaya. Sementara itu, 10,6 persen mengaku tidak percaya, dan 34,1 persen kurang percaya, dengan sisanya memilih tidak menjawab atau tidak tahu.
Sejalan dengan itu, penilaian publik terhadap kinerja Polri juga masih belum menunjukkan peningkatan signifikan. Menurut inisiator sekaligus peneliti CSPW, Hasnu, kepercayaan publik yang rendah erat kaitannya dengan berbagai persoalan hukum yang melibatkan oknum internal Polri. Di antaranya termasuk isu dugaan keterlibatan dalam perjudian online, kartel narkoba, pemerasan, ilegal logging, tindakan represif terhadap demonstran, hingga kriminalisasi aktivis dan jurnalis melalui Undang-Undang ITE.
Masalah-masalah ini bukan hanya soal pelanggaran individu, tetapi telah menjadi simbol rusaknya relasi antara institusi dan publik. Ketika aparat yang seharusnya menjadi pelindung justru dianggap sebagai ancaman oleh sebagian masyarakat, di situlah kepercayaan mulai runtuh.
Dalam teori sosial, seperti yang dikemukakan oleh Brehm dan Rahn, kepercayaan adalah elemen vital dalam membentuk hubungan antarlembaga dan masyarakat. Tanpa kepercayaan, tidak mungkin terbangun relasi yang sinergis, apalagi dalam konteks pelayanan publik. Kepercayaan terhadap kepolisian, dalam hal ini, hanya dapat tumbuh apabila masyarakat merasakan kehadiran negara yang adil, transparan, dan melindungi.
Maka, perbaikan tidak cukup dilakukan melalui pencitraan atau slogan. Dibutuhkan langkah konkret dan sistematis. penegakan hukum yang konsisten, akuntabilitas dalam setiap tindakan, serta komitmen untuk bersih dari praktik kekuasaan yang menyimpang. Seperti yang disampaikan oleh Hasnu, Polri memegang peran penting dalam menjaga hukum, hak asasi manusia, dan keamanan masyarakat. Namun peran ini hanya dapat dijalankan secara utuh jika institusi tersebut mampu memperbaiki integritasnya dari dalam.
Kepercayaan tidak bisa dibeli, apalagi dibentuk secara instan. Ia dibangun lewat pengalaman yang berulang, lewat rasa aman yang nyata, dan lewat keberanian institusi untuk mengoreksi diri. Dalam masyarakat demokratis, kritik bukanlah ancaman, melainkan bahan bakar untuk reformasi.
Ditulis oleh: Uswatun khasanah