Maman Suherman atau akrab disapa Kang Maman memiliki nama asli Muhammad Suherman. Ia adalah seorang jurnalis dan penulis buku yang lahir di Kota Makassar pada 10 November 1965. Kang Maman tumbuh dan besar dari keluarga sederhana yang sangat menjunjung tinggi literasi. Lika-liku perjalanan hidupnya sangat menarik untuk dibahas. Hingga kini ia menjadi seorang penggerak literasi di Indonesia.
Kecintaannya dengan buku bermula dari didikan orang tuanya saat masih kecil. Sejak usia 3,5 tahun, ayahnya selalu membacakan koran dengan cara dieja per kata. Berkat kegigihan dan kerja keras ayahnya, Kang Maman pun dijuluki anak ajaib karena sudah bisa membaca sejak usia 4 tahun.
Kang Maman kecil bisa mendapatkan uang dengan cara membacakan koran untuk orang-orang pasar di belakang rumahnya yang notabenenya buta huruf. Lucunya, ia sering diminta untuk meramal kode buntut. Sering kali tebakannya menang, sehingga ia mendapat uang tambahan dari situ. Bahkan uang yang didapatnya selama tiga hari membacakan koran setara dengan dua bulan gaji bapaknya yang seorang tentara berpangkat sersan.
Saat Kang Maman kelas 3/4 sekolah dasar, kecintaannya pada buku semakin besar. Ia sering menangis karena tidak bisa membaca buku dengan keterbatasan ekonomi keluarga. Berangkat dari kondisi ini, Kang Maman berusaha membeli buku dengan berjualan es lilin secara diam-diam agar tidak diketahui ayahnya. Kenangan mengenai keterbatasan terhadap akses literasi ini menggerakkan hati Kang Maman untuk terus menghidupkan literasi di Indonesia
Ayahnya selalu berpesan, “Ubah keluargamu jadi orang yang peduli pada ayat pertama Al-Quran, Iqra’, bacalah”. Ujar Kang Maman dalam Podcast Helmy Yahya Bicara (23 Maret 2021). Selama kamu memegang teguh Iqra maka kamu tidak akan pernah kelaparan. Itulah pesan ayahnya yang ia pegang hingga sekarang sebagai motivasi untuk menjadi seorang penggerak literasi di Indonesia.
Kang Maman menempuh pendidikan sarjananya di Universitas Indonesia dengan jurusan Kriminologi. Mengingat kondisi keuangan keluarganya yang sangat pas-pasan dan hanya mengandalkan uang pensiunan tentara, ia mencari pekerjaan sampingan sebagai penulis dengan mengirim tulisan-tulisannya di berbagai redaksi koran atau majalah. Hingga sekitar tahun 1987-1988, Kang Maman mulai terjun di dunia jurnalistik sebagai wartawan di majalah Gramedia.
Beberapa Buku yang Ditulis Kang Maman
Kang Maman menulis beberapa buku yang terinspirasi dari perjalanan hidupnya selama menjadi mahasiswa kriminologi, wartawan majalah, dan penggerak literasi. Salah satu karyanya yang sangat terkenal adalah Novel Re yang merupakan alih wahana dari skripsi yang ditulis oleh Kang Maman. Novel ini menceritakan tentang kehidupan pelacur lesbian di tengah gemerlapnya dunia malam Ibukota. Di mana Kang Maman terjun langsung untuk mengamati kehidupan para pelacur lesbian sebagai bahan skripsinya.
Pada awalnya, tulisannya ditolak oleh berbagai penerbit karena isinya yang terlalu keras membahas dunia prostitusi dan bahasanya yang terlalu ilmiah tanpa adanya tendensi perasaan penulisnya. Kang Maman teringat pada perkataan gurunya, Sapardi Djoko Damono, “Fiksi itu lebih fakta daripada fakta itu sendiri”. Berangkat dari sini, Kang Maman mengubah skripsinya menjadi tulisan fiksi yang sepenuhnya berdasarkan data dan fakta. Melalui alih wahana ini, tulisan Kang Maman dapat diterima dengan mudah hingga dicetak berulang kali dan mendapatkan kelanjutan dari Novel Re.
Kang Maman memiliki pengalaman sebagai ‘orang belakang’ dalam acara infotainment selebriti. Ia menuliskan pengalamannya dalam buku berjudul Bokis yang diterbitkan dalam dua jilid. Melalui buku ini Kang Maman berusaha mengungkapkan suatu hal tersembunyi. Seperti apa yang dikatakan neneknya untuk tidak serta-merta percaya terhadap apa yang kita dengar, tapi juga dari apa yang kita lihat. Isi bukunya berfokus seputar sisi gelap kehidupan selebritis yang sangat berbeda antara dunia nyata dengan apa yang ditampilkan di media.
“Bokis ini bukan sekadar gosip. Tapi saya sekadar ingin memberitahu bahwa masyarakat harus dikasih melek bahwa jangan pernah mencampur adukkan antara opini dengan fakta”, terang Kang Maman dalam acara Tonight Show (27 September 2013).
“Fakta is fakta, sakral. Kalau opini bebas tidak usah dicampur adukkan”. Lanjut Kang Maman.
Kontribusi Kang Maman terhadap Literasi Indonesia
sebagai seorang penggerak literasi, Kang Maman sering berkeliling Indonesia untuk menghidupkan gerakan literasi di berbagai daerah. Banyak sekali pengalaman berharga yang ia didapatkan. Kang Maman melihat masih adanya keterbatasan akses terhadap buku di daerah-daerah pelosok di Indonesia. Melalui kerja sama dengan beberapa pihak, Kang Maman membantu menyalurkan buku untuk daerah-daerah yang membutuhkan. Buku yang akan disalurkan harus disortir terlebih dahulu sesuai kondisi masyarakat setempat. Agar buku yang dikirim tidak hanya sampai pada pemahaman, tapi juga mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Ia juga melihat toleransi antar umat beragama yang sangat indah yang diabadikan dalam bukunya Bhinneka Tunggal Cinta. Orang Islam membantu menyumbangkan Al-Kitab untuk saudaranya non-muslim. Begitu sebaliknya, non-muslim menyumbangkan Al-Quran untuk saudaranya yang muslim.
Kang Maman juga merambah dunia pesantren yang selama ini ‘tertutup’. Ia menyadari bahwa lingkungan pesantren dengan kegiatan keagamaan berupa ceramah maupun dialog dengan para ulama menjadi peluang yang dapat dijadikan sebagai bahan penulisan buku. Salah satu dialognya dengan salah satu pengasuh pondok pesantren, Gus Kikin bahwa kesadaran literasi para santri masih sangat kurang. Mereka bahkan tidak mengetahui sejarah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang digaungkan KH Hasyim Asyar’i yang menjadi cikal bakal gerakan 10 November 1945. Tidak ada catatan tertulis yang dimilikinya. Maka sangat penting meningkatkan literasi para santri, terutama kemampuan menulis agar mereka dapat berpikir kritis dan berimajinasi.
Kang Maman ingin agar pesantren terbuka terhadap kemajuan zaman. Di mana tidak lagi relevan melarang para santri untuk menggunakan gadget. Karena pada kenyataannya, jasa penitipan hp di warung-warung dekat pesantren sudah menjamur. “Jangan selalu bicara negatifnya. Ajarin dulu semua siswa 4 pilar literasi digital: digital skill, digital ethic, digital culture, digital safety”, jelas Kang Maman. Perlahan beberapa pesantren yang pernah disambangi Kang Maman mulai membuka diri terhadap literasi digital, dengan memasukkan literasi digital sebagai pelajaran tambahan. Bahkan mengadakan kegiatan bedah buku. Ia juga membimbing para santri untuk menghasilkan tulisan yang kemudian diterbitkan menjadi buku.
Perjalanan hidup Kang Maman yang berangkat dari keluarga sederhana di Kota Makassar tidak selalu mulus. Berkat motivasi yang ditanamkan ayahnya mengenai ayat Al-quran yang pertama kali turun, yang selalu ia pegang kemanapun takdir membawanya, ia ditakdirkan untuk selalu menulis. Berbagai pengalamannya selama menjalani asam garam kehidupan jurnalistik, kemudian juga mendorongnya untuk menggerakkan literasi hingga ke pelosok negeri.
Ditulis oleh: Umi Pryatin DRN
Sumber foto: Gramedia