Palangka Raya — Komisi III DPRD Kalimantan Tengah kembali menyoroti ketimpangan kesejahteraan antara guru negeri dan guru swasta di provinsi tersebut. Dalam audiensi bersama perwakilan guru swasta pada Selasa, 23 September 2025, terungkap bahwa ada guru honor di sekolah swasta yang hanya digaji Rp 10.000 per jam, tergantung kondisi keuangan sekolah.
Jeli Sri Pahlawanti, salah satu guru swasta yang hadir dalam audiensi mengungkapkan bahwa guru swasta non-GTT (Guru Tidak Tetap) di luar daftar BOSDA (Bantuan Operasional Sekolah Daerah) adalah pihak paling rentan. Karena tidak mendapat dukungan BOSDA, honor mereka benar-benar bergantung pada kemampuan sekolah. “Ada yang hanya Rp 10 ribu per jam,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa meski guru negeri atau guru bersertifikat mendapat tunjangan dari pemerintah pusat, guru swasta tanpa sertifikasi praktis tidak memiliki jaminan kesejahteraan. “Kami merasa dianaktirikan,” kata Jeli.
Ketua Komisi III DPRD Kalteng, Sugiyarto, mengakui bahwa persoalan upah rendah bagi guru swasta sering muncul dalam rapat dan pertemuan. Menurutnya, guru yang tidak menerima BOSDA harus digaji sesuai kemampuan sekolah, yang tak jarang membuat honor per bulan sangat rendah. “Kalau misalnya 40 jam per minggu, dengan Rp 10 ribu per jam, maka honor mingguan hanya Rp 400 ribu,” jelas Sugiyarto.
Sugiyarto menekankan bahwa kondisi ini berbahaya jika dibiarkan—kualitas pendidikan di sekolah swasta bisa tertekan karena guru tidak bisa bertahan bekerja dengan pemasukan yang sangat kecil.
Ketimpangan upah ini tidak hanya soal keadilan, melainkan terkait keberlangsungan profesi guru swasta dan mutu pendidikan di sekolah swasta. Jika guru tidak mendapat imbalan layak, motivasi dan dedikasi mereka bisa tergerus, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pengajaran.
Sumber: