Guru Jadi Korban Kekerasan, Bangsa Diuji Marwah dan Akhlaknya

Belakangan ini, Sulawesi Selatan dikejutkan oleh kasus kekerasan terhadap guru yang dilakukan siswa. Insiden ini bukan sekadar peristiwa tunggal, melainkan menjadi alarm keras tentang krisis akhlak bangsa yang semakin nyata. Guru, yang seharusnya dimuliakan sebagai pendidik dan pembimbing generasi, kini kerap menjadi korban kekerasan fisik maupun psikis. Kondisi ini jelas tidak bisa dianggap remeh, karena menyangkut masa depan pendidikan dan martabat bangsa secara keseluruhan.

Dalam perspektif Islam, guru memiliki kedudukan yang sangat mulia. Rasulullah SAW dikenal sebagai mu’allim, pengajar umat yang menuntun manusia dengan akhlak luhur. Al-Qur’an menegaskan pentingnya menghormati orang berilmu, seperti tercantum dalam QS Al-Mujadalah: 11, sementara hadis menyebut bahwa Allah, para malaikat, bahkan makhluk di bumi dan laut mendoakan kebaikan bagi pengajar ilmu (HR. Tirmidzi). Menghormati guru sejatinya adalah bagian dari menghormati ilmu dan iman, sebuah kewajiban yang membangun karakter dan moral generasi muda.

Nilai lokal masyarakat Bugis-Makassar, siri’ na pacce (harga diri dan empati), juga menekankan pentingnya menjaga kehormatan orang lain, terlebih terhadap pendidik. Kekerasan terhadap guru jelas bertentangan dengan ajaran agama maupun budaya bangsa. Tradisi menghormati guru dan orang berilmu seharusnya menjadi pondasi yang membimbing anak-anak menjadi individu berakhlak mulia, bukan sebaliknya.

Kasus ini menyoroti sejumlah masalah mendasar. Pertama, menurunnya penghormatan terhadap guru di lingkungan keluarga dan masyarakat, yang menjadi faktor awal munculnya perilaku tidak sopan atau agresif. Kedua, lemahnya pendidikan akhlak di rumah, sehingga anak-anak tidak memiliki fondasi moral yang kuat sebelum memasuki dunia pendidikan formal. Ketiga, derasnya arus digital dan media sosial, yang membuat generasi muda kehilangan teladan positif dan cenderung terjebak dalam budaya instan, emosional, bahkan kekerasan.

Tragedi kekerasan terhadap guru ini seharusnya menjadi momentum refleksi bagi semua pihak—orang tua, guru, masyarakat, dan pemerintah—untuk menekankan kembali pentingnya pendidikan akhlak. Runtuhnya marwah guru berarti runtuh pula pilar pendidikan bangsa, dan kasus serupa tidak boleh dibiarkan terulang.

Kekerasan terhadap guru bukan sekadar persoalan disiplin atau sekolah, tetapi peringatan bagi kita semua bahwa menjaga martabat pendidik sama dengan menjaga masa depan generasi dan akhlak bangsa. Dengan menegakkan penghormatan terhadap guru, menanamkan adab sejak rumah, dan menyalakan kembali teladan kebaikan, kita bisa membentuk generasi penerus yang berakhlak mulia, berilmu, dan siap membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Previous Article

Permendikdasmen 2025 Dinilai Berat, Batam Kekurangan Guru hingga 700 Orang

Next Article

Kurikulum Inovatif Bantu Anak Indonesia Kuasai Bahasa Asing Sejak Dini

Write a Comment

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Update Artikel Kami

Pure inspiration, zero spam ✨