SAPANESIA ID- Peristiwa teror terhadap redaksi Tempo menyisakan luka mendalam bagi dunia pers dan demokrasi Indonesia. Dr. Makroen Sanjaya, M.Sos., Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univeristas Muhammadiyah Jakarta sekaligus Direktur TV Muhammadiyah, menyampaikan pandangannya dalam sebuah podcast kanal Diskursus Net yang tayang pada Selasa, 15 April 2025.
Dalam pernyataannya, Dr. Makroen menegaskan bahwa peristiwa ini merupakan kejadian pertama dalam sejarah media Indonesia yang tergolong sebagai teror terbuka terhadap media besar. Menurutnya, kejadian ini bukan hanya menyasar Tempo, tetapi menjadi ancaman serius terhadap kebebasan pers secara keseluruhan.
“Kalau ini dibiarkan dan tidak diusut tuntas, ini alarm lonceng kematian bagi kebebasan pers. Bukan hanya kepada Tempo tetapi keseluruhan,” ujarnya.
Ia melihat bahwa tindakan ini sudah masuk dalam kategori pelanggaran berat, bahkan menyentuh praktik doxing dan upaya adu domba antara media dengan institusi negara.
“Seperti yang dikatakan oleh Presiden kita, bahwa kemudian teror itu sebenarnya adu domba. Adu domba antara kekuatan demokrasi salah satunya pers dengan institusi negara,” ungkapnya.
Dr. Makroen juga menilai bahwa pola penyebaran narasi yang menyerang Tempo terasa sistematis dan terorganisir. Ia mengungkapkan bahwa logika sederhana dapat digunakan untuk melihat siapa yang memiliki kekuatan dan sumber daya untuk melancarkan serangan semacam ini.
“Kalau kita pakai logika, siapa yang punya sumber daya, sistem, dan struktur untuk melakukan ini? Kalau hanya korporasi, saya kira tidak cukup,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa Tempo bukanlah ancaman negara, justru Tempo berperan penting dalam menjaga martabat bangsa melalui praktik jurnalisme yang kritis dan independen.
“Tempo harus dirawat dalam memegang posisi kritis, egaliter, dan independen. Kalau tidak dijaga, habis kita,” katanya.
Mengajak Masyarakat Sipil dan Pemerintah Bergerak
Hampir satu bulan berlalu sejak peristiwa itu terjadi, namun pelaku teror masih belum terungkap. Padahal menurut Makroen, hal ini seharusnya bukan hal yang sulit untuk dipecahkan oleh institusi kepolisian.
“Saya mengajak kekuatan sipil untuk bergerak bersama pemerintah yang kita harapkan benar-benar punya komitmen untuk menjaga demokrasi dan kebebasan pers,” tegasnya.
Sebagai akademisi sekaligus praktisi media, Dr. Makroen mengingatkan bahwa dalam sistem demokrasi yang sehat, kritik adalah bagian dari dinamika, bukan bentuk serangan. Ia menekankan pentingnya menjaga ruang publik agar tetap terbuka bagi suara kritis seperti yang dilakukan oleh Tempo.
Ia juga menyayangkan sikap yang ditunjukkan oleh Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, yang dinilai tidak menunjukkan empati terhadap insiden tersebut. Dalam perspektif etika komunikasi, kata Makroen, seharusnya seorang pejabat publik mengedepankan ethos (akhlak), logos (pengetahuan), dan pathos (emosi) dalam menyampaikan pernyataan, terutama dalam konteks krisis.
“Kata-kata dia (Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan) yang kemarin dikeluarkan itu sama sekali tidak menunjukkan simpati apalagi empati,” pungkasnya.
Pesan yang disampaikan Dr. Makroen bukan hanya ditujukan kepada pemerintah, tetapi juga masyarakat sipil, akademisi, dan media. Kebebasan pers adalah fondasi utama dalam negara demokrasi. Ketika media mulai diteror dan suara kritis dibungkam, maka kita semua sedang dalam bahaya.
Sumber: