Beberapa waktu terakhir persoalan guru menjadi salah satu tema yang cukup ramai diperbincangkan di tanah air. Bagaimana tidak, banyak kasus dan polemik menyeret nama pahlawan tanpa tanda jasa ini, baik dalam posisi guru yang menjadi korban seperti kriminalisasi yang menimpa Supriyani, maupun guru yang menjadi pelaku permasalahan.
Salah satu kasus baru-baru ini adalah seorang guru SD di kota Medan, HRYT yang memaksa anak didiknya, MI untuk duduk di lantai saat kegiatan belajar mengajar dengan alasan belum membayar SPP. Sebelumnya HRYT telah memberitahukan kepada para orang tua melalui grup Whatsapp bahwa siswa yang masih menunggak SPP tidak diperkenankan mengikuti pembelajaran di sekolah.
Kamelia, orang tua dari MI menganggap pesan tersebut hanya sekedar candaan sehingga ia membiarkan anaknya berangkat sekolah seperti biasa. Tanpa disangka justru berujung anaknya duduk di lantai. Tentu hal ini menimbulkan keprihatinan bagi berbagai pihak. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak belajar justru menjadi tempat menindas yang menimbulkan trauma.
Siapa yang bermasalah?
Seorang guru, terlebih di tingkat sekolah dasar seyogyanya menjadi orang tua bagi siswa selama berada di sekolah. Orang tua yang siap membimbing, mengajarkan hal baru, bahkan mendengar keluh kesah seorang anak didik, alih-alih membeda-bedakan antar mereka hanya karena faktor belum membayar SPP. Terlepas dari persoalan kesejahteraan guru yang tak kunjung selesai, tidak ada alasan bagi guru melarang siswa belajar.
Jika persoalannya adalah kebijakan sekolah yang telah berlaku, sebagaimana penjelasan HRYT kepada Kamelia, seharusnya guru tidak langsung menindak kepada siswa dimana hal ini dapat berdampak pada mentalnya. Persoalan kebijakan ini pun patut dipertanyakan, lembaga pendidikan setingkat sekolah dasar yang menjadi pijakan awal seorang penerus bangsa membangun cita-citanya, seharusnya memberikan berbagai alternatif solusi bagi siswa yang kurang mampu. Dari sini jiwa pendidik para pemangku kebijakan di sekolah patut dipertanyakan.
Ruh Guru: Jiwa Pendidikan yang Membimbing
Dalam persoalan pendidikan, khususnya dalam proses belajar-mengajar, Imam Al-Ghazali pernah mengatakan bahwa metode lebih penting dari materi, guru lebih penting dari metode, dan ruh guru lebih penting dari guru itu sendiri. Mari kita ulas secara singkat.
Metode lebih penting dari materi. Materi pembelajaran yang relevan dan up-to-date sangat penting untuk menunjang proses belajar. Namun, materi yang terbaik pun akan sulit dipahami tanpa penggunaan metode penyampaian yang benar. Selanjutnya, guru lebih penting dari metode. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa seorang guru yang baik dapat membuat metode apapun menjadi efektif. Sebaliknya, metode yang canggih pun tidak akan efektif jika digunakan oleh guru yang tidak memiliki kompetensi dan dedikasi. Adapun yang terakhir adalah ruh guru. Al-Ghazali menempatkan ruh guru sebagai elemen paling penting dalam pendidikan.
Ia berpandangan bahwa seorang guru bukan hanya sekedar pemberi informasi, tetapi juga seorang pembimbing spiritual yang membentuk karakter dan akhlak muridnya. Guru yang memiliki ruh adalah guru yang mampu menginspirasi murid-muridnya untuk belajar dan mencapai potensi maksimal mereka. Dengan kekuatan ruh/rohaninya guru dapat memberikan kedekatan batin dan keteladanan yang dengan senang hati akan diikuti oleh para muridnya. Sehingga suasana belajar akan semakin kondusif dan menyenangkan.
Guru yang memiliki ruh/ rohani yang kuat akan memandang persoalan secara bijak dan terbebas dari pandangan materialistik. Maka, apabila mendapati siswa yang telat membayar SPP, tidak akan terbesit dalam benaknya solusi dalam bentuk hukuman. Ia akan memahami bahwa persoalan ekonomi adalah masalah umum yang sewaktu-waktu dapat pula menimpa dirinya. Adapun pendidikan adalah kebutuhan primer yang tidak dapat ditunda, kedudukannya sama dengan makan, bahkan dalam pandangan yang lebih ekstrem, pendidikan lebih penting dari makan. Jika setiap guru dapat memahami konsep ini dan berusaha mengimplementasikannya, maka kasus perundungan kepada siswa seharusnya tidak akan terjadi lagi.
Penulis : Firmansyah